Untuk Waktu Yang Panjang


Untuk memulai catatan kecil ini, aku tidak tau harus memulai dari mana, aku tidak tau harus bagaimana. Yang jelas, aku hanya ingin berbicara tentang sebuah pertemuan, tentang permulaan, tentang awal-awal. Cerita pendek yang tak akan pernah usai, cerita sesaat yang tak akan pernah berhenti walau kita terpisahkan jarak sejauh apapun. Meski mata tak saling menatap, meski langkah kaki tak menapak tempat yang sama. Aku, akan memulai dengan sebuah pertemuan. Ini bukan cerita, ini hanya catatan yang berserakan, yang kukumpulkan untuk mengabadikan kenangan-kenangan ku bersama mu. Ini untuk seseorang yang hatinya patah, untuk kalian yang sudah lama terpenjara di bianglala perasaan. Ini untukku agar terus semangat berbenah, agar diri makin memahami hakikat pertemuan. Agar hati yang kupendam makin terlapangkan. Ini sebuah catatan kecil. Untuk menginsyafi, bahwa sejatinya, dalam perjalanan panjang yang di lalui, kita tak akana pernah saling memiliki.

Kamu; satu kata yang menjadikanku selalu berpetualang di negri-negri kerinduan. Entah, aku tidak tau, apakah mengenalmu itu sebuah rahmah atau musibah. Yang kutahu, mengenalmu adalah salah satu anugrah terindah. Ya, mengenal berarti pernah melewati sebuah pertemuan. Lewat apapun peristiwa itu, lewat kejadian apapun pertemuan itu; menyakitkan, menyenangkan, rasa sakit, atau senyuman. Dan dalam banyak cerita, pertemuan seringkali ialah sebuah dongeng menyenangkan yang tak akan pernah bisa di lupakan. Ia akan terus mengiang-ngiang di ruangan yang terus kita abadikan.

Setiap kita punya moment-moment menakjupkan ketika awal berkenal, dengan siapapun yang hadir dalam kehidupan kita. Meski sebuah perkenalan itu hanya singkat dan sederhana, ia selalu memiliki moment-moment unik untuk di kenang. Di ceritakan ketika kelak kita tak dapat saling ucap empat mata, di ceritakan kepada orang-orang baru yang hadir menggantikan mereka yang memutuskan pergi. Jika pertemuan adalah sebuah cerita, maka perkenalanlah prolognya. Yang mana, dengan semua pembukaan menyenangkan atau menyedihkan, cerita mampu di nikmati dengan ketakjupan yang membuat hati bergetar.

Aku mengenalmu dengan sederhana, dengan satu kata yang mampu memberisikkan dada bersebab getarannya. Aku menemukanmu dengan sederhana, dengan satu kata yang geloranya mampu mengguncang hati, bersebab asyiknya. Aku mengenalmu dengan sederhana, seperti hujan yang jatuh ke bumi. Menemui kekeringan dengan guyuran kesegaran. Aku menemukanmu dengan sederhana, sesederhana aku menulis namamu di awal pembuka ceritaku.

Hanya sebuah kata di pertemuan awal kita yang mampu membuat cerita tak pernah usai, satu kata yang mampu membuat cerita pendek tak pernah memiliki ujung. Aku mengenang detail pertemuan itu. Jika boleh ku ceritakan, mungkin kamu akan tertawa terbahak-bahak mengenangnya. Tawa khas yang membuat gigi-gigimu terlihat manis, menyenangkan siapapun ketika memandang. Ah, sebenarnya memang tak ada sedikitpun lucu-lucunya. Hanya mungkin kamu bisa menertawakan diri kita masing-masing, sebab pertemuan singkat itu telah mengukir kenangan-kenangan baru yang terasa konyol, seperti lelucon yang kapanpun bisa di tertawakan.

Izinkan aku bercerita pertemuan kita yang sederhana, izinkan aku.

Sore itu, hujan turun. Senja tak menampakkan kejinggaan menakjubkannya, tanah dimana-mana menjadi becek. Kesiur angin menyanyikan hembusan nafas kedinginan. Sedikit deras, orang-orang masih sibuk berlalu lalang dengan mantel hujannya. Sore sebentar lagi tertidur, dan aku masih duduk tak bergeming di depan toko buku, menunggu hujan reda. Menunggu suasana menjadi bersahabat untuk melangkah pulang. Sesekali Syal di leherku kubenahi, dingin ini menusuk-menusuk menembus kulit. Padahal pakaian yang kukenakan lebih dari cukup untuk menyamankanku dari cuaca dingin seperti ini.

Entah apa yang terjadi, tetiba sebuah buku terjatuh tepat di depanku, tergeletak begitu saja. Sekejap, aku menoleh. Melihat wajahmu, menatap tak bergeming. Dua detik yang tiba-tiba, aku memutuskan menundukkan wajah. Mengambil buku itu, memberikan kepadamu dengan wajah tertunduk. Dadaku bergetar hebat, seolah wajahmu menyiram hatiku dengan dingin yang luar biasa. Hujan masih saja turun, mungkin reda masih lama. Tapi hatiku sudah tak kuat untuk terus berada di dekatmu, entah kenapa, aku tidak tau. Yang jelas, sebagai seorang lelaki, sungguh rasa malu itu berdebar-debar sejak tadi.

Dua detik setelah buku itu berada ditanganmu, satu kata itu terucap lembut, satu kata itu meruntuhkan pandanganku yang sejak tadi kubangun. "Assalamu'alaikum" katamu. Dan tiba-tiba, hujan berhenti, langit menjadi cerah, dingin seketika hangat. Dua detik aku termangu, hingga bibir kedinginanku menjawab lirih "Wa'alaikum salam". Dan seketika, satu kata itu menjelma cerita pendek yang tak akan pernah memiliki ujung. Cerita singkat yang tak akan pernah usai.

(Zen)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Ujung Kita

--- Tentang Kerinduan ---

Pergi MendekatiNya, Baru Kemudian dia